AL KINDI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA (Bagian III)

Filsafat Ketuhanan

Tulisan al-kindi yang membicarakan ketuhanan antara lain Fi al falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyat Wa Tanahi jirm al-‘Alam. Dari tulisan-tulisan tersebut dapat dilihat bahwa pandangan al-kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan selalu ada akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhir sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan.

Benda-benda di alam ini, menurutnya mempunyai dua hakikat: hakikat sebagai juz’I (al-haqiqat juz’iyyat) yang disebut ‘aniyah dan hakikat sebagai kulli (al-haqiqat kulliyat) dan ini disebut mahiyah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus 9jenis) dan spesies (nau’).

Tujuaan akhir dalam filsafat islam adalah untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Allah. Allah dalam filsafat al-kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniyah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di ala mini. Allah tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Akan tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah karena Allah tidak merupakan genus atau spesies. Bagi al-kindi, Allah adalah unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah yang benar pertama (al-haqqul awwal) dan yang benar tunggal (al-haqqul wahid). Selain dari-Nya, semuanya mengandung arti banyak.[1]

Al-kindi juga menyatakan bahwa Allah itu hanya bias dilukiskan dengan kata-kata negative: Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak berbilang, Allah tidak berhubungan, Alllah tidak terbagi. Ia adalah Maha Esa (Wahdat) dan yang selain-Nya berbilang. Dengan demikian, naïf al-shifat (peniadaan sifat) bagi mu’tazilah ini berarti Allah mempunyai hakikat. Dilihat dari sisi ini, pandangan mu’tazilah yang menyandang gelar kehormatan kaum rasionalisme dalam islam, bias dianggap musyrik. Jadi, al-kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidaksamaan-Nya dengan ciptaan-Nya.

Sesuai dengan paham yang ada dalam islam, Allah, bagi al-kindi, adalah pencipta alam semesta dan mengaturnya, yang disebut dengan ibda’. Pendapatnya ini berbeda dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah sebagai penggerak pertama yang tidak bergerak.

Adapun menurut al-kindi, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturan-Nya (sunnatullah) tidak kadim, tetapi mempunyai permulaan. Ia diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo) atau menurut istilah yang digunakannya izh-har al-syai’ ‘an laisa[2]. Pengertian kadim, menurut al-kindi, adalah tidak berpermulaan.

Pendapat al-kindi tentang diciptakannya alam dari ketiadaan sejalan dengan pandangan kaum teolog muslim, tetapi berbeda dengan pendapat para filosof yunani dan bertentangan dengan pendapat kaum filosof muslim. Sementara itu, dalam al-qur’an sendiri tidak dijelaskan secara tegas apakah alam semesta diciptakan dari yang sudah atau dari ketiadaan.

Untuk membuktikan adanya Allah, al-kindi memajukan tiga argument:
1.      baharunya alam;
2.      keanekaragaman dalam wujud;
3.      kerapian alam.

Tentang dalil atau argument baharunya alam telah lazim dikenal di kalangan kaum teolog sebelum al-kindi. Akan tetapi, al-kindi mengemukakannya secara filosofis. Ia berangkat dari pertanyaan, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas al-kindi menjawab, bahwa itu tidak mungkin karena ala mini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan (mutanahi). Justru itu setiap benda, ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya. Ini berarti bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya.

Tentang argument yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, kata al-kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman keanekaragaman dan keseragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri, dan jika alam yang menjadi sebab (illat)-nya akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Justru itu, sebab atau illat-nya harus yang berada diluar alam sendiri, yakni Zat Yang Maha Baik, Maha Mulia, dan lebih dulu adanya dari alam, yang disebut dengan Allah SWT.[3]

Tentang argumen yang ketiga, kerapian alam, Al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendaliannya tentu yang berada diluar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahu dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di ala mini. Zat itulah yang disebut dengan Allah SWT.


[1] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang. 1973), hlm.16
[2] Muhammad ‘Athif Al-‘Iraqy, Dirasat fi Mazhab falasifat al-Masyriq, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1973), hlm.40.
[3] Muhammad Abu Riddah, Rasa’il Al-Kindi al-Falsafiyayat, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1950), hlm.142-143.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Syair Mu'allaqat

Antara Bermanfaat dan Dimanfaatkan

Syair