KEINGINAN




‘Keinginan’ merupakan suatu istilah untuk menggambarkan kebutuhan seseorang dengan harapan tingkat pencapainnya melebihi 50%. Istilah ini saya gunakan dengan menggunakan penggambaran kata yang didefinisikan sendiri. Sedikit menggunakan daya imajinasi saya yang merangkum bahwa tingkat keinginan seseorang itu dibagi menjadi tiga, yakni; keinginan, harapan, dan impian. Lah, apa perbedaan dari ketiga kata tersebut?. Tentunya beda susunan huruf abjadnya, selain itu beda pula dalam penggunaannya. Saya menggunakan istilah ‘keinginan’ untuk menggambarkan sesuatu yang diinginkan dalam waktu dekat. Sedangkan harapan adalah keinginan dalam rentang waktu yang agak panjang. Dan impian adalah keinginan yang tidak ditentukan waktunya karena bisa terjadi sewaktu-waktu ataupun tidak pernah terwujud sama sekali.


Saya juga menganalogikan ketiga tingkatan keinginan tersebut dengan penggunaan waktu dalam tata Bahasa Arab. Jika ada yang mengerti tentang penggunaan waktu yang terdapat pada Bahasa Arab, maka akan menemui Fi’il mudhori’ yang merupakan kata kerja yang mengandung waktu ‘sekarang’ dan ‘yang akan datang’. Nah, fi’il mudhori’ dipastikan terdapat huruf mudhoro’ah (yakni, alif, nun, ya, dan ta) untuk menentukan waktu dan gender, serta jumlah. Baiklah, abaikan penjelasan yang akan membuat tambah ribet ini. kembali ke pembahasan semula, bahwa keinginan saya analogikan dengan fi’il mudhari’ tersebut yang hanya dengan menggunakan salah satu huruf alif, ya, nun, dan ta. Sedangkan harapan, saya analogikan dengan fi’il mudhari’ yang ditambahi huruf –sin’ di awal katanya, karena mengandung waktu dengan rentang yang agak lama. Dan yang terakhir, yakni impian, adalah fi’il mudhari’ yang didahului oleh kata –saufa, yang sering baca surat at-Takatsur pasti sangat familiar dengan kata –saufa ini (Monggo dibaca al-Qur’an dan terjemahannya J).

Pembahasan utama sebenarnya bukan pada pengelompokan tentang level keinginan. Namun lebih merujuk pada ‘keinginan’ itu sendiri. Kala manusia dijerat rasa ‘ingin’ yang sedemikian rupa sehingga melakukan berbagai cara dan sekuat tenaga untuk dapat mencapai keinginan tersebut. Tapi, ada satu masalah yang seringkali ditemui oleh para manusia yang ‘berkeinginan’. Apakah itu?. Ya, tidak lain dan tidak bukan adalah tidak tercapainya keinginan sehingga membuat manusia terkadang membenci sesamanya atau bahkan penciptanya. Ironis bukan, apa sebenarnya yang salah dengan keinginan tersebut sehingga harus melimpahkan ketidak-tercapaian ‘keinginan’ pada orang yang jelas-jelas tidak mempunyai daya dan upaya apapun yang bahkan untuk mengubah takdirnya sendiri. Apalagi dengan menyalahkan sang pencipta,Hey! Manusia sudah begitu banyak menerima kenikmatan yang tak terhingga, dan hanya karena sebuah keinginan manusia bahkan berani menyalahkan Tuhannya.

Tulisan ini hanya sebuah refleksi dari pengalaman pribadi yang kemudian hari barulah penulis sadari hikmah yang begitu besar dari serangkaian kedongkolan yang terjadi karena tidak terpenuhinya ‘keingingan’ tersebut. Kembali ke memori masa lalu. Sekitar dua tahun silam masih di bulan yang sama, saat penulisan tesis yang begitu meruwetkan, ditambah deadline lulus yang hanya tinggal 5 bulan, membuat saya tak pernah bisa tidur dengan tenang. Apalagi yang paling parah adalah proposal penelitian saya masih juga belum mendapatkan acc dari pembimbing pertama disaat teman-teman yang lain sudah memulai penelitian dan tetek bengeknya. Padahal penulisan proposal ini sudah memakan waktu 5 bulan, tapi apalah daya. Hari demi hari berlalu begitu saja, meninggalkan saya sendiri dengan kutatan tesis yang masih menanti. Ancaman pembayaran pun sudah diambang mata karena saya mengikiti program kuliah bebas biaya sehingga tidak bisa begitu saja mengundur jadwal lulus yang sudah ditentukan. Saat itu saya sangat menginginkan lulus secepatnya, sebelum tenggat waktu deadline berakhir. Agar tidak membayar pinalti karena telah melampaui hari. Setiap hari berkutat dengan hal yang berbau tesis, mencoba sekuat tenaga agar tidak ketinggalan dengan teman-teman yang sudah mulai mendaftar sidang tesis. Namun, nyatanya. Keinginan tak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan, karena saya masih harus bolak-balik merevisi ditambah kepergian pembimbing saya ke luar negeri membuat saya kelimpungan berdiri setengah mati.

Saat itulah saya mulai menyadari bahwa keinginan tak melulu berkaitan dengan diri kita pribadi dan Tuhan sebagai Sang Maha Pemberi. Tetapi juga berkaitan dengan hajat ataupun keperluan orang lain yang hanya Tuhan yang tahu titik irisannya kemudian disejajarkan dengan keinginan saya. Saya berkeinginan untuk lulus secepatnya, begitupula institusi yang menaungi. Tapi semua itu terkendala pada pembimbing yang masih harus memenuhi kewajibannya di luar negeri. Selain itu, yang terpenting adalah keinginan lulus saya sudah diketahui pembimbing, dan beliau tidak serta merta menandatangani draft tesis saya begitu saja karena masih ada hal yang harus dipenuhi, mungkin berkaitan dengan standar kelulusan.

Berpikir positif adalah satu-satunya jalan yang bisa menengahi kala manusia merasa tidak adil dengan tidak tercapainya ‘keinginan’. Satu hal yang juga tak kalah penting adalah ‘keinginan’ itu tidak hanya berkaitan antara pribadi kita dengan Tuhan, tapi juga menyangkut orang lain yang mungkin tidak kita sadari sebenarnya mempunyai kaitan dengan ‘keinginan’ tersebut.

Well, pada akhirnya, sabar dan tawakkal adalah jalan tempuh yang terbaik untuk dilalui saat ini. Saat dimana manusia merasa ‘desperate’ dengan hidupnya. Cukup hanya dengan mengingat bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya yang sudah beriman dengan sebenar-benarnya. (Lihat al-Anfal ayat 2-4).

Sabtu, 16 Mei 2015 (Masih di Gua dengan sahutan suara burung yang berdendang :D).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Syair Mu'allaqat

Antara Bermanfaat dan Dimanfaatkan

Syair