Goyang Dumang, Dua Lima dan Goyang Dombret; Sebuah Perseteruan yang Tidak Kampungan




Minggu ini adalah minggu paling menarik. Pasalnya, di minggu ini saya mendapatkan kegiatan yang sudah lama dinanti. Memang terkesan pengangguran, tapi begitulah adanya. Seorang penulis mencoba berkata jujur dengan keadaannya. Itu salah satu keistimewaan yang dimiliki penulis. Well, saya tidak sedang membanggakan diri. Hanya sedikit menunjukkan fakta bahwa beberapa penulis sukses adalah yang jujur dengan kehidupannya (ini sebenernya do’a). Meski begitu, anda tidak akan menemukan nama indahku di belakang buku yang berjejeran di toko buku. Belum saatnya (Alibi?). Baiklah, kembali lagi bahasan mengenai pekan paling menarik yang selama ini sudah dinanti, bahwa dalam dunia pendidikan yang menjadi inti pokok dalam pembangunan berkelanjutan ataupun indeks pembangunan manusia masih saja menemui jalan buntu.


Begitu banyak aturan yang dibuat manusia sehingga melencengkan fungsi utama dari pendidikan itu sendiri. Atau dengan sangat berani saya akan katakan dunia pendidikan sudah dikebiri oleh para pembuat kebijakan dan pengonsumsi pendidikan itu sendiri. Lihat saja, beberapa kasus yang muncul sebagai akar dari kependidikan sudah memenuhi layar kaca. Mulai adanya kampus bodong, ijazah palsu, hingga para koruptor yang ‘katanya’ adalah prodak pendidikan tinggi di Negara kita ini.

Belum lagi masalah dari pendidikan tingkat bawah, TK, SD, SMP, hingga SMA. Kasus bulliying yang lagi-lagi menelan korban yang masih di bawah umur menunjukkan betapa mengerikannya dunia pendidikan di Indonesia. Berita yang sempat menjadi headline adalah berita seorang anak SD yang tewas dipukuli temannya hanya karena tidak mau meminjamkan pulpen. Mendidik dari mana yang menghasilkan anak urakan dan tak terkendali.

Memang semua itu tidak bisa begitu saja digeneralisasi. Hanya saja, pemberitaan tersebut akan menggiring kaum minoritas yang sebenarnya berkebalikan dengan itu. Pun dengan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Seperti pemangku kebijakan, pelaku, pelaksana dan segala tetek bengek yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Semua itu berasal dari berbagai macam kepala dengan kepentingan masing-masing yang dilatarbelakangi oleh ‘dendam’ masing-masing.

Hal tersebut kemudian melahirkan distorsi dan kemunduran dalam bidang pendidikan. Begitu banyak kekuasaan yang kemudian melinggas kewajiban. Begitu banyak kepentingan yang kemudian melinggas kebermanfaatan. Begitu banyak keterdesakan sehingga melindas keberaturan dan hanya menonjolkan keinstanan.

Ketiga hal itu jika dikorelasikan dengan berbagai jenis goyang yang akhir-akhir ini digunakan untuk menggiring massa –entah dengan tujuan apa- adalah laiknya wajah yang terjadi akibat adanya gesekan-gesekan yang menggemparkan internal. Entah itu goyang Dumang, Dua Lima, ataupun goyang Dombret yang merupakan dedengkot lagu goyang diantara ketiganya.

Maka, sah-sah saja jika ketiga jenis goyang itu saling berseteru untuk mencapai tujuan masing-masing. Karena pada kenyataannya hidup adalah sebuah kompetisi besar dari ekosistem yang ada di bumi. Jika satu lebih kuat, maka yang lebih lemah akan mati dan punah.

Akhir kata, sejatinya pendidikan itu adalah sebuah hal yang diperintahkan agama. Bukan karena ijazahnya dapat digunakan untuk bekerja, bukan pula karena gelarnya untuk ditempel dan dibanggakan penggunaannya. Tapi untuk lebih mengetahui Tuhan-Nya dengan berbagai macam dan jenis ilmu di dunia ini yang jika pohon menjadi pulpennya dan seluruh lautan menjadi tintanya, tidak akan cukup untuk mewakili Ilmu-Nya. 

Mengembalikan fungsi kata ‘didik’ dan ‘ilmu’ mungkin menjadi pekerjaan kaum minoritas yang masih mempunyai harga diri dan idealism dalam upaya “Penghambaan kepada Tuhan”.

Ditulis dalam keterpurukan otak yang lama tak menuangkan ide

Monday, November 09, 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Syair Mu'allaqat

Antara Bermanfaat dan Dimanfaatkan

Syair