Bullying




Barusan, saya melihat sebuah tayangan di televisi swasta yang membahas tentang para korban bullying. Mulai dari yang bunuh diri, sampai beberapa orang ‘keren’ yang menurut saya, mampu membuat hidup mereka berkualitas di dunia.

Tetiba, teringat jaman dahulu dimana saya juga pernah dibully. Penyebabnya macam-macam, ada yang dikarenakan saya anak seorang ibu guru sehingga disangka saya adalah orang yang tukang ngadu, ada pula karena saya juga mempunyai bapak seorang guru dimana seharusnya lebih high tech dalam teknologi informasi, karena saya hanya bisa bahasa Indonesia di tengah-tengah komunitas orang jawa, sampai karena saya adalah seorang yang memakai kerudung+rok saja, dan tak pernah memakai celana panjang sekalipun sehingga mengkategorikan saya kedalam kelompok orang culun.

Awalnya memang beban mental, karena itu sangat mempengaruhi kehidupan bersosialisasi kita. Ancaman beberapa kali datang menghampiri, ditambah persaingan tidak sehat karena mempunyai orang tua yang dapat dikatakan ‘berkuasa’. Dan hal itu membuat saya agak segan bergaul dengan orang-orang ‘pintar’ dan lebih senang bergaul dengan orang-orang yang notabene biasa saja disekolah. Alasan saya lebih disebabkan karena adanya fragmentasi yang membatasi antara orang kaya dengan miskin, pintar dengan bodoh. Apalah arti semua itu, toh kita masih dalam keadaan belajar, dimana seharusnya menjalin tali sillaturrahim dengan siapapun untuk mempererat ukhuwah islamiyah. Orang miskin dan biasa saja juga punya hak untuk memahami pelajaran yang memang tidak bisa mereka terima dengan baik. Apa salahnya jika kita duduk berdampingan dengan mereka...?

Bullying ini di setiap tempat yang berkaitan dengan pengaruh ibu atau bapak saya selalu menghampiri. Oleh karenanya, pada suatu ketika saya memutuskan untuk ‘merantau’ ke kota agar dapat menghindari lingkaran setan yang menurut saya tak dapat dihapuskan itu. Hingga saat ini pun, saya adalah salah seorang yang menganut paham merantau lebih baik dari pada berada di bawah bayangan orang tua, karena sangat menyiksa. Bukannya saya menyalahkan keberadaan kedua orang tua saya. Tetapi, disini lebih ditekankan pada sebuah budaya dimana seorang anak bisa membanggakan dengan ‘busung dadanya’ atas kekuasaan, kekayaan dan pengaruh nenek moyang yang mereka miliki. Memang itu hak mereka untuk melakukannya, tapi hak orang lain juga untuk tidak diperlakukan seperti yang mereka inginkan karena faktor-faktor pendorong bullying tersebut.

Akhirnya, pada semua orang yang membullying, saya hanya mengingatkan bahwa sunnatullah berlaku, ada karma yang entah akan menghampiri kapanpun dan dimanapun. Dan untuk para korban bullying, biarkan mereka melakukan apa yang mereka suka, hanya saja tunjukkan bahwa kalian adalah orang yang lebih baik dari mereka, dalam prestasi tentunya, dalam bidang apapun. Anggaplah bullying itu sebagai pemicu agar kita keluar dari keterpurukan kita.

OK, Keep Fastabiqul Khoiroot.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Syair Mu'allaqat

Antara Bermanfaat dan Dimanfaatkan

Syair