Bisikku, Tuhan.
Dan
jika semua kabut menjadi hitam, temaram langit menggelap. Kepulan asap seolah
mengaburkan semua impian dan do’a yang dilayangkan semua manusia yang setiap
malam mereka panjatkan dengan mengulurkan kedua tangannya. Rembulan menyembul,
merona, memancarkan cahaya kekuningan malu bak pengantin baru. Gemerisik angin kembali
mengaburkan cahaya itu seakan tidak rela membiarkan para penikmat mengagumi
keindahannya.
Aku
tersungkur mendapati kabar bahwa dengan segera aku akan dikirim ke sebuah
tempat terjauh yang pernah kukunjungi. Biarlah, semua itu akan berlalu seiring
berjalannya waktu. Atau sebagian orang berkata akan indah pada waktunya.
Mungkin aku satu-satunya orang yang tidak menyukai istilah itu. ‘Indah pada
waktunya’ menurutku manusia hanya terdiam, menunggui takdirnya yang tak kunjung cerah hingga keajaiban datang. Aku lebih
senang menggunakan istilah ‘ikuti saja prosesnya’ setidaknya istilah itu
menyiratkan segala usaha kita tak akan sia-sia asalkan mengikuti jalannya.
Malam
ini aku kembali bersimpuh, di sepertiga malam seperti yang selalu dilakukan
orang yang tengah putus asa dalam kehidupan. Sebenarnya aku tidak suka
melakukannya, karena itu hanya tindakan melarikan diri saat tertimpa
kehancuran, kehinaan dan kefanaan. Tindakan yang jarang dilakukan kala manusia
tertimpa berlimpah harta dan kesenangan dalam hidup. Tapi meraka selalu
berkata, Tuhanmu suka untuk disembah, dimintai, dimohoni, meskipun hamba-Nya
hanya datang sekali waktu dalam kesusahan dan melupakan-Nya dikala kenikmatan.
Kembali
kutengadahkan kedua tangan, membulirkan beberapa titik air mata, berbisik lirih.
“Tuhan,
aku kembali memintamu, berikan dia padaku sebelum..”
Tenggorokanku
tercekat,tak mampu menyelesaikan kalimat do’aku, menghela nafas melalui mulut dan
mengeluarkannya lagi dengan celah yang sama. Kuputuskan untuk tidak melanjutkan
kalimatku. Aku beralih ke topik lain dan mulai bercakap
“Kali
ini akan kubiarkan apapun yang mereka putuskan padaku. Dan, Tuhan..apakah Kau
tau, mereka merencanakan sesuatu dibalik senyuman nyinyirnya.”
Kembali
kuhela nafas, kali ini melalui hidungku, menembus hingga paru dan membuat dada
terasa lebih lapang. Pikiranku melayang pada sebuah peristiwa pagi hari. Saat itu
aku tengah berjalan munuju rumah sepulang sekolah, banyak mata menerawang jauh
menatapku. Picingannya menyurutkan dan mengempiskan dadaku, aku tetap bertahan,
apa yang kulalui bukanlah hal yang salah, ini caraku beribadah, gumamku.
Setelah
bertahun berlalu, masih ada saja nanar-nanar mata yang menghampiriku. Bukan
disaat aku sedang berjalan pulang, bukan pula saat aku berkumpul dalam
kerumunan orang yang membuatku tidak nyaman. Tapi saat aku tengah merasakan
kenikmatan hidup, indahnya berbuat kebaikan,
dikelilingi orang yang setauku menginginkan dan mengharapkanku.
Tatapan
itu kembali memicing, matanya kembali menyudut, dan lirikannya kembali memenuhi
hari-hari indahku.
“Tuhan,
dalam darahku selalu mengalir sendi kehidupan yang telah Kau berikan, biarkan
aku merasakannya untuk waktu yang agak lama, sedikit saja dari perkiraanku,
kumohon”
Do’aku
bergulir, mengingat peristiwa yang akan kulalui beberapa hari kedepan. Kupikir
aku tidak akan merasa kehilangan, karena aku berencana merekalah yang akan
kehilanganku. Mereka akan menyesali apa yang sudah mereka lakukan padaku dan
mereka akan merindukan kebaikan yang selama ini telah kutebarkan diseluruh
sudut bangunan itu.
“Tuhan,
selama ini yang kulakukan tidaklah hal-hal yang menurut-Mu salah, lalu kenapa
sekarang nampak salah. Aku tak pernah melakukan apapun yang melintang garis.
Beritahu mereka apa yang sedang kulakukan sekarang, karena suara-Mu lah yang
mampu mereka dengar.”
Tak
kuasa menahan kilasan-kilasan balik yang selalu berkelebat dalam pikiranku.
Ingin rasanya menghujamkan kepala ke dalam lumpur untuk mencuci bersih otakku
agar tak ada kepahitan yang tertinggal.
Bukannya
mengeluh, permasalahan hidupku sudah merasuk dalam hati yang jika terkoyak
sedikit saja membuatku rapuh dan merasa menjadi orang terlemah yang ada di muka
bumi ini. Kekuatanku hanya bersandar pada Zat yang menciptakanku. Jauh-jauh
hari sebelum aku sendiri mengetahui aku akan diciptakan, Tuhanku sudah mengatur
rencana dengan sangat detil dan sempurna. Saat yang tengah kulalui pun tak
luput dari rencana cerdas-Nya. Suatu keadaan yang dihadapkan pada sebuah dilema
yang tak kunjung usai. Situasi yang membuatku tersiksa sehingga menghadapkan
pada kenyataan bahwa keberadaanku hanyalah sebatang pohon yang melintang di
jalan.
Hari
ini tepat 100 hari setelah aku berusaha mengumumkan perang pada orang yang
kusayangi. Hari dimana kami berdiam diri dan saling menghujat dalam hati, masa
perang dingin yang terjadi pada sebuah lingkaran sempit. Hari-hari yang sangat
menyakitkan karena harus berhadapan dengan orang yang berasal dari sumber darah
yang sama membencimu karena keberadaanmu.
Siang
itu, dia mengatakan sesuatu yang membuatku tersentak.
“Karena
Kau aku tidak mendapatkan kebahagiaan, dan harus tertunda sampai dengan waktu
yang tidak ditentukan”
Aku,
tidak melakukan apapun yang membuatnya tidak mendapatkan kebahagiaan apalagi
sampai ditunda dengan waktu yang tidak ditentukan. Pernyataan yang membuatku
menyadari bahwa aku hanyalah seorang tua yang tak mampu membuat adiknya
bahagia.
Keberadaanku
yang salah, dan aku tidak menemukan jalan yang mampu kulalui maupun kutembus
untuk keluar dari permasalahan ini. Dan bisikan yang biasa aku lirihkan
disela-sela do’aku setiap malam adalah
“Tuhan,
keluarkan aku dari permasalahan ini”
*****
Besok,
aku akan meninggalkan keadaan yang sangat membelengguku. Besok adalah hari
dimana aku dikirim ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Besok
pula aku akan menaiki sebuah benda yang terbuat dari besi dan katanya mampu
melayang ke udara.
***
Dan,
hari esok pun tiba, aku tengah berada pada keadaan dimana burung besi melayang
di udara. Tak lupa pula ditengah kegulandahanku aku menengadah untuk memohon
agar terselamatkan dari apa yang akan terjadi. Saat itu pula aku mendengar
rengekan bayi yang seolah merobek bongkahan di telingaku. Kucoba memejamkan
mata lebih dalam, hingga yang terlihat olehku hanyalah awan gelap yang
menyelubungi seluruh pandanganku. Ketika tiba-tiba terdengar dengkuran benda
keras yang entah berasal dari mana. Sesaat duniaku berhenti, tak bergerak dan
hanya satu pintaku yang selalu kubisikkan ditengah do’a malamku.
“Tuhan,
Keluarkan aku dari permasalahan ini.”
Komentar
Posting Komentar