Miss You Too, Childs
Hari
ini, ada pesan yang masuk ke wa saya. Isinya
“Ibu,
ini ines..muridnya pak heri yang dari kelas 4D….kangen ibu pas takhfidz,
ulangan ski…pokonya banyaak. Anak-anak yang lain juga pada kangen ibu”
Ya, saya
masih mengingat jelas. Nama, paras hingga kelakuannya. Saya mengingat anak-anak
yang sudah satu tahun lebih ini saya tinggalkan. Beberapa kali mereka memang
menghubungi lewat pesan dan massage fb yang menyatakan kerinduannya. Tak bias dipungkiri bahwa saya
pun demikian pada mereka.
Berawal
dari sebuah tawaran teman yang mengatakan bahwa ada lowongan guru di daerah
Cimahi dan saya terlanjur berjanji padanya untuk mengirimkan lamaran. Akhirnya,
setelah melalui proses seleksi yang panjaaang. Saya berhasil dipercaya untuk
memengang mata pelajaran agama islam.
Saya
memang sudah lama berkutat dalam dunia pendidikan khususnya dalam hal mengajar.
Namun, lebih nonformal. Semenjak kuliah, saya sudah mulai memberikan les
‘ala-ala’ mahasiswa dan menjadi seorang pengajar di TPA sekitar kampus.
Di
sekolah ini pertama kali saya memasuki ranah pengajaran dengan embel-embel guru
institusi formal. Dengan berbagai aturan dan jadwal yang ketat dan padat.
Ditengah-tengah penulisan tesis saya. Hingga akhirnya saya pun harus hengkang
karena tesis saya sedikit tersendat karena terlalu sibuk ngajar.
Anak-anak
yang selalu menyambut saya ketika saya baru akan memasuki gerbang sekolah.
Mereka sudah stand by dengan al-qur’an dan sajadahnya. Duduk bergerumbul di
bawah pohon dan melambaikan tangan-tangan mungil mereka sambil tersenyum riang.
Hal yang selalu membuat saya mau kembali ke sekolah itu setiap hari.
Sebelumnya,
pada saat mulai orientasi guru. Saya memasuki sebuah kelas yang berisi
anak-anak kelas 2 yang sedang menyelesaikan tugas matematika. Hanya satu jam.
Dan ada lima orang anak yang selalu menyapa saya, menggandeng, menyeret, hingga
memberikan makanan. Dari situ saya terharu. Saya hanya masuk satu jam dan
mereka seolah-olah telah mengenal saya lama.
Saat
itu, sempat juga mengajar di kelas 4,5,6. Hingga pada akhirnya diputuskan
sebagai guru agama islam di kelas 4.
Anak-anak
yang unik dan aktif luar biasa membuat sedikit kewalahan. Tapi selalu berhasil
membuat saya tak betah berlama-lama kesal pada mereka. Mungkin saya akan
mengatakan sebuah keajaiban kala saya sedang merasa buntu dengan bimbingan dan
tesis saya, ditambah masalah administrasi yang harus diurusi seorang guru.
Ketika masuk ke ruangan kelas. Saya pun menjelma menjadi sosok anak-anak,
dengan segala keceriaan, kepolosan, dan sifat kekanak-kanakan yang tak pernah
muncul selama saya berada di luar kelas karena factor U. Sangat menyenangkan
dan melupakan sejenak beban yang selama ini memberati fikiran.
Entah
mengapa saya tak mau kalah dengan perdebatan mereka, mengenai tulisan,
pengetahuan, sampai dengan kenarsisan. Mungkin karena itulah yang membuat saya
merasa begitu dekat dengan mereka. Setiap pagi, saat tahfidz ada saja kelompok laki-laki
yang memegangi sepatu saya agar saya tak beranjak ke kelompok perempuan. Belum
lagi, kalau saya harus bimbingan di saat saya sedang mengajar. Terpaksa saya
menitipkan tugas pada ketua kelas. Dan dengan sigap, mereka siap bersedia
membantu menggantikan saya mengawasi teman-temannya. So sweet, bukan.
Terkadang
saya lupa, mereka hanyalah seorang anak kelas 4. Dan saya dengan seenaknya
memperlakukan mereka seolah orang dewasa. Di satu sisi, mereka memperlihatkan
sifat kanak-kanak dan kemanjaannya kala sedang menulis, mengerjakan tugas,
bertanya, dan bermain. Di sisi lain, mereka sangat dewasa, kala saya memberikan
tanggung jawab untuk mengawasi teman-temannya dan mengumpulkan tugas yang sudah
saya berikan. Mereka menyimpannya dengan baik untuk kemudian diserahkan kepada
saya.
Satu
semester. Saya hanya berada selama satu semester di sekolah itu. Tapi saya mendapatkan
banyak pengetahuan, pengendalian diri, karakter anak, komunikasi, dan masih
banyak lagi.
Saat
ini, ingin sekali saya bertemu dengan mereka, dan berkata:
“Hei,
ibu juga kangeen banget sama kalian. Maaf ibu pergi ga pamit dengan baik”
Komentar
Posting Komentar