Ini, Keterpaksaan (Lagi!)
Setelah
sekian lama vacuum ngeblog, akhirnya pada hari ini, Minggu 12 Februari 2017
pukul 23:47 memutuskan untuk kembali memainkan jari hanya sekedar berceloteh
pada blog yang sekian lama ditinggalkan dan mungkin sudah bulukan kelamaan
didiamkan.
Penulisan ini adalah hasil pemikiran setelah beberapa
hari ngedrop yang entah diakibatkan dan disebabkan apa. Namun, mungkin inilah
jawabannya. Ada sebuah ketidakikhlasan hati dalam melakukan sesuatu yang sedang
dijalani.
Pada awalnya, setelah mengalami beberapa kegagalan
memajukan topik penelitian, mengalami putus asa yang luar biasa. Bagaimana tidak,
setelah berjibaku dengan jurnal-jurnal yang bahkan isinya hanya bisa dimengerti
dari penuturan abstrak saja, tulisan-tulisan itu kemudian seolah-olah ‘teronggok’
begitu saja dalam tumpukan kertas yang tak bermakna. Namun, kemudian terjadi
perenungan-perenungan luar biasa yang bergejolak dalam kepala, berkesimpulan
bahwa “topikmu masih sejalur dengan apa yang dulu kau inginkan, namun topikmu
sekarang lebih jelas tidak seabsurd dulu”. Dan mulailah muncul perang pemikiran
bahwa ada sesuatu yang salah yang selama ini telah dijalani.
Topik yang sekarang adalah topik yang pada awalnya adalah
sebuah keterpaksaan, keputusasaan, ketidakpedean-yang pada akhirnya
menghantarkan kembali pada ghiroh yang sudah terlupakan. Dan kemudian sampailah
pada pemikiran ‘untuk apa kelanjutan studi ini masih diteruskan?”. Tentu saja
karena keterpaksaan keadaan. Bukankah seharusnya itu menjadi sebuah kerelaan
keihlasan, kebahagiaan menjalani apa yang diinginkan. Tapi jalan yang dibukakan
seolah menjadi sebuah ‘penyesalan’. Bahwa kemudian konsep penyesalan ini tidak
pernah diijinkan dalam kehidupan saya selama ini. Jadi, keterpaksaan tadi yang
menyertai. Hingga pada titik seperti ini, menggali niat ‘apalagi’ yang telah
terselubung dan salah yang sudah dijalani.
Keterpaksaan akan sebuah keadaan, mengingatkan saya dulu
mengambil jurusan yang juga dengan keterpaksaan, namun kemudian keterpaksaan
itu dapat dikalahkan dengan menyenangi apa yang sedang digeluti. Empat tahun
kemudian, keterpaksaan itu datang lagi dalam bentuk pendidikan. Jurusan yang
tidak sesuai dengan apa yang sudah disenangi dan dijalani hingga akhir serta
penuh dengan ketidaknyamanan namun tetap berbangga diri karena bisa melewati. Dua
tahun berlalu, keterpaksaan selanjutnya menunggu. Padahal seharusnya bukan
keterpaksaan, tapi ini adalah keputusan yang diambil dengan penuh keyakinan. Meski
ternyata keterpaksaan itu hadir kembali hingga saat ini. Keterpaksaan membuat
segala hal yang diperbuat menjadi susah. Keterpaksaan membuat putus asa,
keterpaksaan membuat kita terbelenggu oleh rantai yang menjauhkan kita dari
keinginan. Keterpaksaan pula yang mengikis keihlasan, menjadikan hati tegang,
pikiran pun tidak tenang.
Oleh karena itu, setelah perenungan ini. Saya ingin
mengakhiri keterpaksaan yang selama ini telah membelenggu. Bebaskan pikiran dan
hati dari keterpaksaan dengan belajar ikhlas atas apa yang sedang dijalani,
atas apa yang sedang dihadapi, atas apa yang masih belum terlewati.
::Fabiayyi alaa’i robbikuma tukadzdzibaan::
Cirebon, 13 Februari 2017
Pukul 12:12 (bukan keterpaksaan)
Komentar
Posting Komentar